


Untuk itu, Pemerintah Indonesia menyerukan perlunya tatanan dunia yang berdasarkan paradigma baru dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-77.
Menurut Menlu RI, paradigma baru itu penting untuk diterapkan karena beberapa alasan, salah satunya untuk menyalakan kembali semangat perdamaian.
Retno menilai bahwa kurangnya rasa saling percaya antarnegara (trust deficit) telah memicu kebencian dan ketakutan yang dapat berujung pada konflik. Hal ini terjadi di berbagai belahan dunia.
Untuk itu, kata dia, kurangnya rasa saling percaya (trust deficit) itu harus diubah menjadi kepercayaan strategis (strategic trust).
“Ini harus diawali dengan penghormatan terhadap hukum internasional. Prinsip kedaulatan dan integritas wilayah tidak bisa ditawar. Prinsip-prinsip ini harus senantiasa ditegakkan. Penyelesaian masalah secara damai harus menjadi satu-satunya solusi untuk setiap konflik,” ucap Retno.
Dia menambahkan, paradigma baru itu juga harus diterapkan untuk membuat terobosan dalam mengatasi masalah Palestina dan Afghanistan.
Retno menegaskan bahwa Indonesia akan terus bersama Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Sementara untuk Afghanistan, Indonesia berkomitmen membantu memperjuangkan hak dan akses pendidikan bagi perempuan di Afghanistan.
Alasan kedua penerapan paradigma kolaborasi, menurut Retno, adalah untuk membangkitkan tanggung jawab bersama terhadap pemulihan global.
Dia mengatakan bahwa saat ini solidaritas global semakin menyurut, di mana diskriminasi perdagangan terjadi di mana-mana, demikian juga dengan monopoli rantai pasok global, dan tata kelola ekonomi global dimanfaatkan untuk kepentingan negara kuat. HALAMAN SELANJUTNYA>>


