

GUS Muhaimin Iskandar diambang hattrick. Ya, terminologi hattrick seperti menjadi analogi yang pas bagi debut dan kiprah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa ini.
Hattrick adalah narasi untuk menyebut mereka yang mencetak goal tiga kali dalam satu laga, yakni sepak bola. Di kolom ini, Catatan Jayanto Arus Adi saya ingin menukil spirit serupa.
Tapi bukan soal hattrick ala sepak bola, melainkan hattrick politik. Saya memilih judul hattrick versus freekick ala Gus Muhaimin atau Cak Imin. Hattrick versus freekick, apa yang sesungguhnya terjadi dengan mantan Ketua PMII Yogyakarta 1994-1997?.
Adalah kurusetra Pilpres 2024 mendatang yang akan menjadi testimoni empirik sekaligus legacynya. Sebelumnya sejumlah capaian monumental telah berhasil dibukukan. ‘Prestasi’ kontroversial yang membawa debut politik di panggung elite nasional adalah menjadi Ketua Umum PKB, dengan ‘menaklukkan’ founding fathersnya, mentor juga guru politiknya, yakni KH Abdurahman Wahib, atau lebih akrab dipanggil Gus Dur, dan tak lain adalah Presiden RI ke-4.
Luar biasa! Tokoh sekaliber Pak Harto – panggilan Soeharto, penguasa Orde Baru yang dijuluki ‘The Smiling General’ dan pernah menjadi ikon paling kharismatik semasa Orba, yang ditakuti lawan, disegani kawan tak mampu ‘menundukkan’ Gus Dur. Tetapi Cak Imin bisa! Bahwa prestasi itu berselimut kontroversi, yakni soal kepatutan karena ‘pengkhianatan’ dan bumbu bumbu tak sedap lain sebagainya adalah persoalan berbeda.
Yang ingin menjadi inti dari tulisan ini adalah ‘keberhasilan’ menjadi nahkoda PKB adalah pintu pembuka yang sangat strategis. Fakta sekarang Gus Muhaimin dulu Cak Imin adalah politikus andal, dengan pengaruh hegemonik, mampu menjadi nahkoda bagi PKB dengan baik, yakni sebagai partai papan atas. HALAMAN SELANJUTNYA>>


