
Dengan bahan dan lama pengerjaan serta rumitnya pembuatan kain songket, wajar jika harga satu kain songket di patok jutaan rupiah. Namun cukup miris ternyata keaslian Songket Palembang tak cukup untuk membuat pengusaha songket menjadi sukses berdagang.
Alih-alih meraih kelarisan, Dato Nimas Ayu Sinuhun Anna Kumari (Cek Anna), budayawan Sumsel yang juga pengrajin songket ini harus menutup Gerai songketnya yang berada di Lantai 2 Ramayana Palembang beberapa waktu lalu.
“Tak sanggup bayar sewa tempat, terpaksa harus tutup,” ujar Pemilik Rumah Budaya Nusantara Dayang Merindu ini, kemarin.
Penyebabnya, ternyata karena maraknya kain berprint motif songket buatan pabrik asal India beredar di pasaran. Motifnya persis dengan songket asli, hanya berbeda bahan saja dan dijual dengan harga jauh lebih murah. “Dijual hanya Rp 250 ribu, sedangkan songket asli itu jutaan rupiah,” ujarnya.
Songket yang asli sangat sulit untuk di tekan harganya, betapa tidak, benang Sutra berharga dan benang emasnya saja sebagai bahan utamanya berharga Rp400 ribu pergelondong akibatnya sulit untuk pengusaha songket menurunkan harganya.
Alteratif lain ialah dengan menggunakan benang tiruan yang seharga Rp20 ribuan, namun sudah dipastkan hasilnya tidak akan bagus.
“Sekarang banyak songket-songketan. Saya takutkan, kalau itu terus terjadi dapat membahayakan keberlangsungan songket asli tenun Palembang,” jelasnya.
Terlepas segi bisnis, Cek Anna sangat menghormati dan melestarikan budaya Tenun Songket asli Palembang. Ketulusannya menjaga kelestarian budaya tersirat pada saat dikirim ke Jepang untuk mengenalkan Songket.
Suatu ketika Cek Anna dipinta untuk mendemonstrasikan bagaimana menenun songket , Cek Anna tau betul, bahwa pihak Jepang akan mencoba untuk mempelajari keahliannnya. Cek Anna lantas mempraktekkannya dengan cara yang lebih ribet dan asal-asalan.
“Saya tahu mereka mau mencoba mempelajarinya, jadi saya asal-asalan mengerjakannya. Bahkan mesin tenun pun sudah disediakan pihak Jepang dengan yang lebih modern,” tukasnya.
Cek Anna pun ditawarkan oleh pemerintah Jepang jepang untuk mau menjadi guru tenun songket dengan upah yang menggiurkan. “Saya tetap tidak mau demi untuk mempertahakan budaya Palembang jangan sampai di tiru jepang. Saya demonstrasikan, tapi saya bohongi caranya,” pungkasnya. (yun)


