


Oleh Agus Harizal Alwie Tjikmat
SAMPAI pertengahan Mei 2015, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar USD (Amerika Serikat) masih sangat lemah atau tetap berkisar di atas Rp 12.000.
Betahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar bertengger di atas level Rp 12.000an per USD membuat pelaku industri akan terbebani. Pasalnya akan membuat tinggi biaya produksi, dan ujung-ujungnya banyak pelaku industri harus melakukan efisiensi dan penghematan untuk semua ongkos produksi.
Dampak buruk pelemahan Rupiah ini hampir mengenai seluruh pelaku industri dan pelaku usaha di Indonesia. Kini efeknya tak hanya untuk industri yang menggunakan bahan baku impor, tetapi semua pelaku usaha harus berhemat. Kondisi saat ini juga yang menjadikan pebisnis terus menahan investasi atau menanamkan modal.
Saat ini juga pelaku ekonomi kelas menengah terbebani karena harga komoditi yang terus turun. Harapan harga komoditi pertanian akan menguat rasanya sangat jauh dari impian.
Buruknya ekonomi saat ini sebagai akibat dari kelalaian pemerintah dalam mengelola perekonomian nasional secara menyeluruh dalam kurun waktu yang lama.
Bangsa yang besar ini lupa di Bumi Pertiwi ini tersedia limpahan sumber daya alam. Kini kini menelan pil pahit karena rerlalu banyak mengandalkan impor. Belum lagi saat ini gonjang ganjing politik tak kunjung reda, hal ini membuat kepercayaan terhadap politik dan pemerintahan tak membaik.
Nah makin terpuruk kondisi Bangsa kita saat nilai tukar rupiah jatuh. Apalagi sentimen negatif di pasar keuangan maupun pasar saham terus ada. Ini adalah bentuk ketidakepercayaan pasar terhadap kondisi Bumi Pertiwi. (***)




