


SAAT dikenalkan makanan khas Korea satu ini, saya langsung menyimpulkan, kalau di kampung saya Pagaralam, ini sama dengan sawi putih yang dikasih sambal. Tetapi disini saya baru tahu, sayur hasil fermentasi yang diberi bumbu pedas bisa bertahan sampai tiga tahun, tentunya dengan pola penyimpanan khusus.
Di semua rumah makan yang dikunjungi Suara Nusantara, Kimchi selalu ada menjadi makanan utama. Beberapkali saya mencicipinya, persis sambal sawi. Bedanya mungkin hanya di jumlah bumbu yang diberikan.
Tetapi orang Korea sangat kreatif, makanan ini dijadikan ajang untuk menarik wisatawan. Maka setiap wisatawan yang datang ditawarkan waktu khusus cara menyiapkan makanan ini.
Membuatnya sangat sederhana, setelah digarami dan dicuci, sayuran sawo dicampur dengan bumbu yang dibuat dari udang krill, kecap ikan, bawang putih, jahe dan bubuk cabai merah.
Sayuran yang paling umum dibuat kimchi adalah sawi putih dan lobak. Di zaman dulu, kimchi diucapkan sebagai chim-chae yang berarti “sayuran yang direndam.
Di Korea, kimchi selalu dihidangkan di waktu makan sebagai salah satu jenis banchan yang paling umum. Kimchi juga digunakan sebagai bumbu sewaktu memasak sup kimchi (kimchi jjigae), nasi goreng kimchi (kimchi bokkeumbap), dan berbagai masakan lain.
Literatur tertua yang memuat tentang kimchi adalah buku puisi Tiongkok berjudul Sikyeong. Pada waktu itu, kimchi disebut “Ji” sebelum nantinya dikenal sebagai “chimchae”.
Asinan berwarna hijau merupakan bentuk awal kimchi sewaktu cabai belum dikenal di Korea. Setelah dicampur dengan garam, sayuran seperti kubis dimasukkan ke dalam guci tanah liat setelah diberi garam, dan dipendam di dalam tanah sebagai persediaan makanan sewaktu sayuran segar tidak tersedia di musim dingin. Orang Korea baru mengenal cabai berkat jasa pedagang Portugis dari Jepang yang datang ke Korea di abad ke-16. (ags)