
TAK henti korban berjatuhan akibat truk batubara yang melintas di jalur Lahat-Palembang. Korban nyawa, kecelakaan berakibat fatal, jalan macet beratus kilometer, dan banyak lagi kesusahan rakyat karenanya. Tetapi semua itu rasanya belum cukup untuk menggugah pengambil keputusan untuk mengambil langkah bijaksana terhadap persoalan ini.
Begitu banyak yang harus dikorbankan akibat pengangkutan batubara ini. Padahal kalau semuanya diatur dengan baik, tentu semuanya akan berjalan dengan bagus, bahan galian memang bermanfaat lebih, rakyat tak terganggu dan pendapatan negara akan bertambah.
Sebenarnya kalau kita mengingat-ingat, Pemprov Sumsel pernah menghentikan sementara pengangkutan batubara dari Lahat yang masih menggunakan halan atau alur transportasi umum. Penghentian ini dilakukan karena protes rakyat sudah puncak klimaknya. Tentu saja kondisi tersebut disambut baik oleh rakyat.
Tentu saja menghentikan selamanya eksplorasi tambang batubara di Lahat, bukan solusi yang bijaksana. Karena dari aktivitas tambang tersebut sudah terjadi siklus ekonomi, dan ketergantungan antar satu sistem dengan lainnya sudah berjalan.
Lalu bagaimana menyelesaikan permasalahan pelik akibat dari aktivitas pengerukan mutiara hitam dari Lahat ini? Rata-rata eksplorasi besar-besaran dari tambang batubara di Lahat, hanya memikirkan bagaimana agar kekayaan alam di Lahat tersebut bisa cepat jadi duit.
Kondisi ini membuat banyak elemen-elemen penting untuk aktivitas tambang diabaikan. Pada tahap permulaan hal ini tak menuai masalah, tetapi anti klimaksnya terjadi saat rakyat sudah merasa pada jenuh yang luar biasa, karena sudah sangat menganggu. Bukan saja untuk warga Kabupaten Lahat, tetapi warga Sumsel. Dapat dikatakan pengerukan bahan galian tambang di Lahat yang sudah berjalan lebih dari lima tahun akhirnya menuai masalah yang besar.
Sejak jalur jalan raya distop total untuk jalur angkutan batubara, rupanya masalah tak selesai. Karena masalah lain kini muncul, karena ternyata lingkaran ekonomi dari eksplorasi tambang sudah terjadi.
Sangat terlihat saat eksplorasi dan pengangkutan batubara yang dulunya masih menggunakan jalur transportasi umum, dilakukan tanpa mengindahkan suara dan kepentingan rakyat. Kondisi ini terpaksa dilakukan karena kepentingan pemilik modal yang sudah terlanjur menjual bahan galian tersebut ke konsumen.
Sebelumnya dengan jalur jalan yang macet total, yang penting batubara diambil dari perut bumi kemudian diangkut ke dermaga Pelabuhan Tanjung Api-api. Semuanya harus berpikir jernih, jangan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau golongan.
Harus diutamakan juga kepentingan rakyat, dan cita-cita mulia menggali bahan galian tersebut. Bukankah bahan tambang di Bumi Pertiwi ini ada untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, sesuai amanat UUD 1945. (***)


