Ofensif Balik Ukraina dan Konflik yang Kian Sulit Didamaikan

Realitas pahit

Rusia menginvasi Georgia dengan alasan melindungi kaum minoritas di Abkhazia dan Osssetia Selatan, tapi alasan utamanya adalah karena Georgia berusaha menjadi anggota NATO. Alasan ini juga yang digunakan terhadap Ukraina 14 tahun kemudian.

Dalam kasus Perang Georgia-Rusia pada 2008 itu, Barat tak bisa berbuat apa-apa, karena letak geografis negara ini yang jauh dari daratan Eropa. Satu-satunya negara NATO yang berbatasan dengan Georgia adalah Turki.

Mungkin juga Barat melihat Georgia terlalu kecil untuk mereka perhatikan.

Sebaliknya, Ukraina tak bisa dipandang seperti itu. Negeri ini berbatasan langsung dengan banyak negara Eropa yang selain anggota NATO juga anggota Uni Eropa.

Penduduk dan wilayah Ukraina yang begitu besar, membuat Barat sudah tak bisa lagi diam.

Mereka mungkin berpikir jika terhadap negara sebesar Ukraina saja berani, apa lagi terhadap negara-negara lebih kecil termasuk tiga negara Baltik yang berbatasan dengan Ukraina dan juga Rusia.

Untuk itu, jebolnya Ukraina akan menjadi pesan yang buruk bagi Eropa. Bahkan negara-negara yang dulunya netral seperti Finlandia dan Swedia pun, turut terancam untuk kemudian melanggar tabu dengan melamar masuk dalam payung keamanan NATO.

Baca Juga :   Warga Selandia Baru Serahkan Lebih dari 10.000 Senjata Api

Finlandia sudah menjadi anggota NATO, sedangkan Swedia dalam perjalanan menuju ke sana.

Dengan fakta-fakta dan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, menciptakan solusi damai di Ukraina adalah tantangan yang luar biasa sulit sehingga mesti dipertimbangkan matang-matang.

Selain itu, setiap prakarsa damai tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan selain Rusia dan Ukraina, adalah tidak tepat, karena konflik ini sudah menyeret banyak pihak, khususnya Barat.

Salah satu faktor kegagalan prakarsa-prakarsa damai yang diajukan pihak-pihak seperti PBB, Turki, India, dan China, adalah meniadakan pertimbangan-pertimbangan itu, seolah konflik di Ukraina tentang perebutan wilayah semata.

Lebih dari itu, proposal damai selama ini kerap mengesampingkan fakta bahwa suka atau tidak suka Rusia adalah pihak agresor, yang ditegaskan dalam resolusi PBB yang memerintahkan Rusia menarik pasukannya dari Ukraina.

Bagi Ukraina sendiri, perang ini jelas perang tentang kemerdekaan dan kedaulatan. Mereka mungkin mau menerima prakarsa damai, tapi mustahil mau merelakan wilayah kedaulatannya.

Baca Juga :   UNICEF: 110 Ribu Anak dan Remaja Meninggal Karena AIDS Tahun Lalu

Sebaliknya bagi Rusia yang dianggap oleh sejumlah negara sebagai kekuatan yang bisa mengimbangi Barat, perang ini adalah pertaruhan yang menentukan kelangsungan rezim dan bahkan masa depan Rusia, setidaknya menurut pandangan Putin.

Dari apa yang terlihat saat ini, baik Ukraina maupun Rusia, sudah seperti pihak-pihak yang memainkan “zero sum game”, bahwa kemenangan salah satu pihak adalah sama dengan kekalahan yang dialami lawannya. Dalam kata lain, mereka hanya mengenal pilihan, menang atau kalah.

Dengan semua hal ini, mungkin tak ada jalan selain membiarkan kedua belah pihak kelelahan berperang untuk kemudian mengakhiri konflik seperti terjadi dalam Perang Iran-Irak pada 1980-1988.

Ini memang kejam dan menyakitkan, tapi faktanya pihak-pihak yang berkonflik di Ukraina memang hanya menginginkan siapa yang harus kalah dan siapa yang harus menang. Inilah realitas pahit yang terlihat saat ini. (Antara/andi)





Publisher : Apriandi

Lihat Juga

WMO: 2023 Bakal jadi Tahun Terpanas dalam Sejarah

London, KoranSN Badan cuaca PBB pada Kamis (30/11/2023) menyatakan bahwa 2023 kemungkinan bakal menjadi tahun …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

error: Content is protected !!