

Oleh Agus Harizal Alwie Tjikmat
BEBERAPA hari ini warga Sumsel harus menelan kekecewaan yang sangat lama dan pahit, karena aliran listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke rumah-rumah harus terhenti alias terjadi pemadaman. Mati lampu yang yang dialami warga bukan sebentar, tetapi berjam-jam. Bahkan sekali pemadaman di salah satu pemukiman dapat lebih dari sepuluh jam.
Bahkan Senin kemarin, mati lampu hampir merata di Kota Palembang dengan waktu yang sangat lama. Kondisi ini tak cocok lagi dengan Kota Palembang sebagai ibukota Provinsi Sumsel.Jelas saja mati lampu ini membuat warga Sumsel menderita. Tentu kalau mati lampu itu hanya beberapa saat, tak akan masalah. Tetapi kalau pemadaman dilakukan berhari-hari dengan waktu yang sangat lama, siapa saja tentu saja akan mengumpat. Sumsel selama ini dikenal sebagai sumber energi, mulai dari batubara, minyak, dan gas. Bahkan energi dari Sumsel dipasok ke Pulau Jawa dan Bali. Berjuta-juta ton batubara Sumsel dijual ke luar negeri. Tapi nyatanya krisis energi harus terjadi di Bumi Sriwijaya.
Rasanya secara logika, Sumsel yang sering didengungkan sebagai sumber energi, tetapi malam hari sangat gelap, sangat kontradiksi. Ini kan sangat menyedihkan, karena pemerintah saat ini sangat menggalakkan wisata di Palembang, lalu bagaimana orang mau berkunjung kalau suasana kota sangat gelap. Lalu bagaimana dengan penilain warga yang bertamu ke Kota Palembang, karena mati lampu yang sangat lama.
Hendaknya pemadaman bergilir yang terjadi di Sumsel ini harus menjadi pelajaran untuk kita semua. Pengambil keputusan harus bijaksana untuk adil bagi warga Sumsel, mengapa di daerah penghasil energi harus terjadi mati lampu. (***)