

Palembang, SN
Money politic atau politik uang tidak dapat dihindari pada pelaksanaan pilkada serentak di tujuh kabupaten di Sumsel, Rabu (9/12) kemarin. Artinya, politik bagi-bagi uang itu, diyakini tetap dilakukan oleh kandidat kepala daerah. Namun, upaya ini dinilai tidak terlalu berdampak signifikan terhadap pilihan masyarakat.
Hal ini dinyatakan Pengamat Politik asal Universitas Sriwijaya (Unsri) Joko Siswanto dalam diskusi terbatas yang digelar oleh Lintas Politika, Kamis (10/12).
“Sejauh ini belum ada survei apakah politik uang berdampak besar terhadap pilihan rakyat, namun politik uang ini sulit dihindari, artinya praktek ini tetap ada namun sulit untuk dibuktikan,” ujar mantan Komisioner KPU Sumsel ini.
Menurut Joko, perubahan peraturan tentang tata cara kampanye, salah satunya dengan pembatasan penyebaran alat kampanye bagi kandidat kepala daerah, secara tidak langsung mendorong terjadinya politik uang.
“Karena ada ‘bantuan’ bahan kampanye dari KPU, menyebabkan kandidat dapat berhemat cukup besar. Nah, uang yang dihemat ini, besar kemungkinan disebarkan dalam bentuk politik uang,” ujar dia.
Namun demikian ulas Joko, praktek politik uang ini bukanlah faktor penentu kemenangan calon kepala daerah, tetapi hanya sebagai faktor penunjang, untuk berjaga-jaga agar suara yang ingin memilihnya tidak lari ke calon lain.
“Politik uang hanya untuk memperkuat saja. Karena pilihan masyarakat tidak terlepas dari ikatan tradisional, rasional dan ikatan psikologis,” katanya.
Menurutnya, politik uang tidak hanya berupa pemberian uang dari kandidat untuk memilihnya, tetapi juga dapat berbentuk pemberian sembako.
“Dalam aturannya, kandidat hanya dibolehkan membagikan suvenir yang harganya tidak lebih dari Rp 25 ribu, diluar pemberian itu, dapat dikatakan money politic,” jelasnya.
Disisi lain kata Joko, Pilkada serentak di Sumsel masih didominasi oleh calon incumbent atau yang masih ada kekerabatan dengannya, dan dari birokrat.
“Beberapa senator yang maju, dalam real count yang dirilis semuanya kalah,” ujar Joko. (awj)


