

TRUK yang memuat batubara dari Lahat yang sudah dilarang melintas di jalan raya masih menyisakan banyak persoalan.
Persoalan ini terus ada, karena pelarangan hanya untuk siang hari, pada malam hari truk-truk tersebut tetap saja melintas. Penulis menyaksikan sendiri ratusan truk melintas saat pukul menunjukkan 18.00 WIB.
Masalah lainya, dengan banyaknya penurunan eksplorasi tambang, kini kisah pelik muncul.
Ribuan tenaga kerja banyak dirumahkan, peralatan tambang yang nganggur, sampai cerita sedih truk yang harus ditarik perusahaan leasing karena tak sanggup bayar cicilan bulanan.
Mengapa kondisi ini harus terjadi? Jawabannya karena untuk mengangkut bahan galian tersebut masih di jalan raya milik umum, yang semakin hari terus mengganggu. Perjalanan normal Lahat-Palembang yang biasanya 4 jam saja, pada kondisi macet parah bisa sampai 12 jam.
Padahal kondisi ini harus diantisipasi sebelumnya saat tambang akan diekplorasi. Tak mungkin terus mengggunakan jalan raya. Kini larangan telah ada, tetapi nyatanya truk-truk membuat batubara secara diam-diam tetap saja, walaupun jumlahnya relatif sedikit.
Lingkaran atau keterkaitan untuk semua efek tambang sudah terjadi saat ini. Tentu saja pasar batubara asal Lahat sudah tercipta, hukum pasar pun sudah ada.
Konsumen batubara dengan ikatan kontrak dipastikan sudah terikat, begitu juga dengan sistem transportasi yang saat ini terus menuai protes. Konsumen tak akan mau rugi dengan uang yang sudah dibayarkan, hingga tuntutan batubara harus ada adalah harga mati.
Pengambil keputusan harus turun untuk menyelesaikan masalah ini, terus protes dan menempuh jalur hukum tak akan menyelesaikan masalah. Karena itu semua hanya mengulur-ngulur waktu, hingga ujung-ujungnya batubara di Lahat akan habis dan rakyat menjadi korban. (***)


