
Tim Percepatan juga berharap agar segera dilakukan revisi undang-undang tindak pidana korupsi (tipikor) dengan mengatur korupsi di sektor swasta, illicit enrichment, foreign public official bribery dan trading in influence serta pengesahan rancangan undang-undang perampasan aset tindak pidana.
Sementara terkait sektor reformasi peraturan perundang-undangan, Tim Percepatan menghendaki adanya perubahan mendasar dalam kelembagaan pembuat peraturan, dimulai dengan menyusun peta jalan untuk pembentukan otoritas tunggal yang mengelola peraturan perundang-undangan, termasuk guna meningkatkan kualitas peraturan yang dibuat dan meminimalisir tumpang tindih kewenangan. Sambil mempersiapkan perubahan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-undangan, dalam jangka pendek perlu dilakukan revisi Perpres No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 12 Tahun 2011, termasuk untuk membatasi model pembuatan aturan dengan metode omnibus dan keluarnya peraturan perundang-undangan di bawah Perpres yang terlalu banyak.
Revisi Perpres ini ditargetkan juga akan memberikan prosedur untuk mencegah disharmonisasi peraturan, serta menjamin partisipasi publik yang bermakna dalam penyusunan peraturan, termasuk dengan menjadikan petisi sebagai metode partisipasi.
Demi menjamin hak-hak masyarakat untuk dapat mengakses peraturan, pemerintah perlu membuat suatu situs tunggal yang lengkap yang memuat rancangan peraturan, seluruh peraturan (pusat dan daerah) yang sudah diundangkan, serta dokumen terkait lain (misal naskah akademik dan notulensi pembahasan).
Presiden, sebagai pimpinan tertinggi di lembaga pemerintah, diharapkan dapat mengerahkan seluruh jajaran yang ada di bawahnya untuk dapat mengimplementasikan rekomendasi percepatan reformasi hukum ini.
“Sesuai mandat dalam SK pembentukannya, Tim Percepatan akan membantu Menko Polhukam untuk mengawal dan mengevaluasi pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi di atas untuk mewujudkan langkah-langkah awal reformasi hukum menyeluruh di Indonesia,” ujar Bivitri. (Antara/ded)


